MUISUMBAR.OR.ID -- Bulan Februari 2020 dalam KUII (Konfrensi Umat Islam Indonesia) di Babel, saya minta tokoh-tokoh umat Islam merumuskan pengertian "radikal", "teroris", "toleransi" dan lainnya yang sering disasarkan kepada umat Islam dan ditujukan kecurigaannya kepada rumah ibadah kaum muslimin.
Rumusan bersama tentunya, bukan rumusan sepihak apalagi melenceng dari konsep syariat dan dakwah lslamiyyah.
Sayang usulan itu tidak difahami apalagi direspon positif.
Sekarang malah label ekstrimisme pun telah muncul.
Tetap saja yang harus dimasukkan dalam kontra semua itu adalah penceramah dan masjid.
Apakah memang umat, ulama dan masjid mesti berada dalam sasaran kecurigaan seperti ini ?
Sampai kapan ini akan terjadi wahai tokoh-tokoh umat ?
Apakah belum tiba saatnya umat ini diberi kelegaan nafas untuk mengurus ekonomi mereka yang sedang morat marit ?
Apakah belum tiba saatnya umat ini diberi kesempatan menata kebersamaan untuk menyusun kekuatan bangsa ini ?
Berhentilah membuat kegaduhan karena untuk menghadapi tantangan berat bangsa ini, dibutuhkan saling rangkulnya antara anak bangsa.
Jangan sampai energi kita menjadi terkuras oleh hantu kecurigaan yang tak ada wujudnya dalam kenyataan.
Sayang sekali kalau kita tidak menyadarinya melainkan setelah tubuh bangsa ini rapuh sehingga tak bisa bertahan menghadapi tantangan yang semakin berat, la qadarallah. (/Penulis adalah Ketum MUI Sumbar sekaligus Penggiat Gerakan Buya Baliak Basurau)